DELAPAN provinsi kepulauan di Indonesia yang berkepentingan dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Kepulauan belum bisa bernapas lega. Apalagi, masa tugas anggota DPR lama akan berakhir pada akhir September. Sebagai usulan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), undang-undang tersebut penting untuk provinsi-provinsi yang secara geografis merupakan wilayah kepulauan demi pemerataan pembangunan.
Pada 11 Agustus 2005 merupakan momentum bersejarah bagi Maluku dan tujuh provinsi kepulauan lainnya, yakni Maluku Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau. Sebab hari itu, di Gedung Baileo Siwalima Karang Panjang, Jalan RA Kartini, gubernur dan ketua DPRD dari delapan provinsi menggelar Deklarasi Ambon.
Delapan pemerintah provinsi wilayah kepulauan itu meminta pemerintah pusat mewujudkan implementasi pengakuan yuridis wilayah kepulauan melalui regulasi dan program yang dibutuhkan guna percepatan pembangunan. Pemerintah pusat juga diminta memberi perlakuan secara khusus dan proporsional dalam bentuk dukungan dan penetapan alokasi anggaran sesuai karakteristik wilayah kepulauan.
Deklarasi Ambon jadi titik awal perjuangan panjang pengakuan provinsi kepulauan lewat sebuah UU. Setelah dideklarasikan, gagasan provinsi kepulauan diluncurkan di Jakarta pada pertengahan September 2005.
Dua tahun kemudian, Deklarasi Ambon belum membuahkan hasil apa-apa. Pada 2008, dibentuklah Badan Kerja Sama Provinsi Kepulauan (BKPK) untuk menyusun sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Daerah Kepulauan.
RUU ini diajukan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) oleh sejumlah gubernur dari provinsi tersebut pada 2011 silam. Sampai saat ini, perjuangan mereka masih belum terlihat titik terang. Pemerintah pusat seolah masih terkesan separuh hati mengesahkan RUU tersebut menjadi UU.
Gamawan Fauzi, Mendagri saat itu, merespons positif. RUU tersebut kemudian disebut RUU Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan (RUU PPDK). RUU ini disahkan oleh DPR pada 2012, tetapi ditolak oleh Kemendagri. Pemerintah berdalih, poin-poin dalam RUU tersebut telah dicantumkan dalam UU Pemerintah Daerah.
Penolakan ini menimbulkan reaksi, terutama dari masyarakat Maluku. Wakil Ketua Pansus RUU PPDK, almarhum Alex Litaay kecewa dengan sikap pemerintah kala itu. Menurut Alex, tujuan RUU PPDK pada dasarnya meminta keadilan dan perubahan dalam cara pandang terhadap negara kepulauan Indonesia. Selama ini, pemerintah pusat cenderung berpikir tentang pembangunan infrastruktur daratan. APBD dihitung hanya berdasarkan luas daratan.
Tak hanya para legislator, rakyat dan pemerintah daerah Maluku juga kecewa. Kekecewaan ini diekspresikan lewat beberapa kali demonstrasi di Kota Ambon hingga isu Maluku jadi negara sendiri dan tuntutan otonomi khusus (otsus) seperti Papua dan Aceh.
Meski ditolak, DPR dan DPD tetap memperjuangkannya. Atas inisiatif DPD RI, RUU tentang Daerah Kepulauan (dalam Prolegnas 2015–2019, tertulis RUU tentang Penyelenggaraan Pemerintah di Wilayah Kepulauan) masuk Prolegnas 2018.
Wakil Ketua DPD RI, Nono Sampono menyatakan, pihaknya berjanji akan terus memperjuangkan RUU Daerah Kepulauan untuk segera disahkan demi kepentingan daerah yang berbasis wilayah kepulauan. Nono mengatakan, saat ini RUU Daerah Kepulauan yang diinisiasi DPD telah masuk dalam pembahasan secara tripartit antara DPR, DPD, dan pemerintah.
DPR RI pun, kata Nono, telah membentuk panitia khusus (pansus) yang bertujuan untuk membahas RUU yang dianggap dapat memperjuangkan wilayah-wilayah kepulauan dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. “Alhamdulillah, DPR sudah membentuk pansus dengan pimpinan dari Maluku yang juga masuk dalam wilayah kepulauan. Sudah beberapa kali rapat tentang hal ini, terlihat pihak DPR hampir bulat menyetujui ini. Cuma dari pemerintah masih ada beberapa catatan,” kata Nono.
Nono menambahkan, RUU Daerah Kepulauan menjadi prioritas DPD RI untuk segera disahkan sebagai UU. Pimpinan DPD RI sepenuhnya mendukung RUU ini karena RUU ini dianggap sebagai tonggak dalam pembangunan wilayah kepulauan yang selama ini tertinggal dibanding daerah dengan wilayah kontinental atau daratan.
“Pimpinan DPD sudah menghadap ke presiden dan ini satu-satunya RUU yang kami minta. Ke depannya, juga akan ada rapat konsultasi antara pimpinan DPD dan DPR. DPD selalu berjuang untuk memperjuangkan daerah, terutama untuk menghadirkan negara di daerah kepulauan,” imbuh senator dari Provinsi Maluku itu.
Sementara, Ketua Badan Kerja Sama Provinsi Kepulauan Nurdin Basirun meminta agar RUU Daerah Kepulauan dapat mengakomodasi beberapa hal. Pertama, mereka meminta kewenangan daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam laut 0–12 mil atau lebih di dalam wilayah provinsi kepulauan dan 0–12 mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas yang diukur dari wilayah pulau terluar tetap menjadi kewenangan provinsi.
Kedua, Nurdin juga meminta pemerintah pusat memberikan alokasi anggaran dana khusus kepulauan antara 3–5% dari APBN di luar pagu dana transfer umum yang diprioritaskan untuk pengembangan sektor ekonomi kelautan dan pembangunan infrastruktur.
Ketiga, lanjutnya, kebijakan kawasan strategis nasional dan kebijakan lainnya harus bersinergi dan tidak mengurangi kewenangan provinsi yang berciri kepulauan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. “Kita tahu betapa berat daerah yang harus kira kelola dengan jarak tempuh yang beraneka ragam, dengan menggunakan biaya yang tinggi sementara ekonomi fiskal kita cukup terbatas yang menggunakan hitungan dari jumlah kepala,” kata Nurdin yang juga menjabat sebagai Gubernur Provinsi Kepulauan Riau itu.
Sementara, Wakil Gubernur Provinsi Maluku Zeth Sahuburua menegaskan RUU Daerah Kepulauan ini merupakan perjuangan yang telah lama dilakukan oleh daerah-daerah yang berbasis kepulauan yang ingin mengejar ketertinggalan pembangunan. Dirinya meminta agar RUU ini segera disahkan menjadi undang-undang. “Mudah-mudahan dengan DPD RI yang memprakarsai RUU ini dapat berhasil. Atas nama kami delapan daerah menyampaikan apresiasi kepada Pak Nono dan DPD RI. Kami tidak minta otonomi khusus, tapi kami minta perlakuan khusus,” tutupnya.
Posisi Tawar Lemah
Pengamat politik Universitas Pattimura (Unpatti) Said Lestaluhu melihat terdapat banyak faktor penyebab belum disahkannya RUU Daerah Kepulauan menjadi UU. Di antaranya lemahnya posisi tawar politik Maluku di pusat.
Maluku hanya memiliki 8 wakil di lembaga legislatif, yakni 4 anggota DPR dan 4 anggota DPD. Dengan jumlah yang sedikit ini, akan sulit memengaruhi kebijakan di kedua lembaga tersebut.
“Masih lemah soal posisi tawar ini karena jumlah wakil rakyat kita sedikit. Itu dari posisi tawar politik,” katanya kepada media beberapa waktu lalu.
Meski begitu, dia mengapresiasi wakil rakyat Maluku di DPR maupun DPD yang masih terus memperjuangkan RUU Daerah Kepulauan.
Sekadar diketahui Pansus RUU Kepulauan bertekad mengesahkannya sebagai UU paling lambat akhir periode 2019. Meski begitu, sangat tergantung dari dinamika politik 2019. Bila para pimpinan DPR dan pimpinan serta anggota pansus masih tetap terpilih, kemungkinan bisa disahkan dalam tahun.
Anggota Pansus RUU Daerah Kepulauan Amir Uskara mengatakan pihaknya hingga kini terus berupaya mempercepat pembahasan dan penyelesaian RUU. Salah satunya, dengan cara menyerap masukan dari pemangku kepentingan, tak terkecuali di daerah yang bersinggungan langsung dengan RUU tersebut.
“Memang kesulitan kami saat ini dari pemerintah sepertinya belum maksimal karena beberapa kali kami undang menteri terkait, tapi yang datang rata-rata adalah eselon 1. Kami tentu berharap bisa bicara dengan menterinya supaya ini bisa kami tuntaskan,” terang Amir.
Politikus Dapil Sulawesi Selatan I itu berpendapat ada hal krusial yang menjadi catatan penting dalam pembahasan RUU Daerah Kepulauan selama pertemuan tersebut. Di antaranya, kewenangan daerah kepulauan dalam pengelolaan sumber daya laut atau perikanan, kemudian perimbangan keuangan. Solusinya adalah usulan penganggaran dana khusus daerah kepulauan (DKK) yang dapat dimanfaatkan pemda untuk mengembangkan daerahnya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pada Juli 2018, Wakil Gubernur Maluku dan bupati/wali kota se-Maluku bertemu pimpinan DPR RI untuk meminta RUU Daerah Kepulauan disahkan. Kala itu, Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah mengatakan, akan disahkan akhir 2018 atau paling lambat sebelum akhir periode pada September 2019.
Wakil Ketua Pansus (RUU) Kepulauan Mercy Barends mengatakan, Pansus RUU Daerah Kepulauan hingga kini masih dalam tahap pembahasan tingkat pertama. Dari 10 fraksi yang ada, hanya tiga yang tidak memberikan pendapat dan persetujuan. “Tujuh fraksi telah memberikan dukungan penuh hingga RUU Daerah Kepulauan ini disahkan. Jadi, resmi telah disahkan mekanismenya sesuai dengan ketentuan undang-undang mulai tahap pembahasan tingkat pertama,” kata Mercy di Ambon, beberapa waktu lalu.
Sementara itu, dalam pertemuan dengan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di Maluku beberapa waktu lalu, Wakil Gubernur Zeth Sahuburua mengingatkan pentingnya pengesahan RUU Daerah Kepulauan. Wakil Gubernur berharap, legitimasi Maluku sebagai provinsi kepulauan bisa secepatnya diputus pemerintah pusat. Pasalnya, hal ini juga terkait dengan alokasi anggaran yang harus diterima Provinsi Maluku dan provinsi kepulauan lainnya.
“Selama ini, pembagian dana alokasi umum hanya mengacu pada luas daratan dan jumlah penduduk. Bayangkan betapa sulitnya membangun di daerah berkarakteristik kepulauan dengan luas daratan kurang dari 10%,” ujar Sahurua.
Menyikapi berbagai tanggapan dan masukan dari masing-masing pimpinan instansi pemerintah terkait, anggota Wantimpres Yahya Cholil Staquf menyatakan pihaknya tentu akan menyampaikan kepada Presiden Joko Widodo. Baginya, pandangan ini sangat penting untuk menjadikan Maluku sebagai basis strategis kelautan di Indonesia.
“Soal paradigma tentang pembagian wilayah provinsi, selama ini memang wilayah ini hanya diukur dari daratannya saja. Asumsi kewilayahan ini akan kami sampaikan ke Presiden,” akunya.