“JIKA Anda memiliki pekerjaan untuk saya, tolong beri tahu saya. Namun, jangan mengajukan berbagai pertanyaan,” kata seorang pegawai yang dipecat oleh Deutsche Bank dan enggan disebutkan namanya, seperti dikutip Reuters, Selasa, 8 Juli lalu. Selain pegawai tersebut, sejumlah bankir juga telah meninggalkan kantor Deutsche Bank di Sydney, Australia, pada Senin sebelumnya.
Mereka mengaku telah diberhentikan oleh bank asal Jerman tersebut. Selain itu, menurut laporan Reuters, mereka enggan menyebutkan namanya saat membawa sejumlah kardus berisi barang-barang mereka. Sejumlah bankir itu tidak sendirian. Setidaknya, Deutsche Bank saat ini sudah memangkas 18.000 tenaga kerja secara global dan mulai merumahkan para pegawainya di Asia.
Langkah pengurangan itu merupakan bagian dari kebijakan senilai US$8,3 miliar oleh perbankan terbesar di Jerman itu agar tidak kembali merugi. Saat ini, Deutsche Bank yang mempekerjakan 91.500 pegawai secara global, termasuk 38.000 pegawai yang bekerja di Wall Street, itu berencana untuk mengurangi operasional serta memangkas beberapa pendapatan tetap.
Perusahaan tersebut berdalih bahwa pengurangan pegawai dilakukan lantaran adanya ketidakpastian mengenai apakah Deutsche Bank akan mencapai break even pada 2020. Chief Executive Officer (CEO) Deutsche Bank Christian Sewing menjelaskan bahwa banyaknya pemangkasan pegawai itu merupakan bagian dari upaya membangun kembali Deutsche Bank. Sebab, bank itu selalu mengalami kerugian selama empat dari lima tahun terakhir. “Pemangkasan pegawai akan berlanjut di London dan New York,” ungkap Sewing.
Selain Deutsche Bank, bank asal Inggris Barclays juga pernah mengalami masa yang berat pada 2018 lalu. Alhasil, terjadi pemangkasan terhadap 56.000 karyawannya, 22 bisnis secara global dijual, hingga tutupnya bisnis perbankan ritel di Eropa dan Afrika. Sebelumnya, Barclays pernah mengalami berbagai masalah mengenai reputasinya setelah mengalami skandal selama beberapa tahun.
Skandal pertama berpusat pada dugaan penganiayaan pengungkap informasi atau whistleblower yang melanggar hukum pada awal 2017. Bank itu juga pernah menghadapi tuntutan dari Kementerian Kehakiman Amerika Serikat (AS) karena penjualan sekuritas berbasis kredit pemilikan rumah (mortgage) bermasalah sebelum krisis keuangan pada 2008. Barclays pun setuju untuk membayar US$2 miliar demi menyelesaikan gugatan itu.
Pada tahun yang sama dengan Barclays, bank asal Belanda ABN Amro pun pernah memutuskan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 250 karyawannya menyusul rencana perusahaan untuk mengurangi aktivitas corporate banking internasionalnya demi menaikkan profitabilitas. ABN menyatakan bakal memfokuskan divisi corporate and institutional banking (CIB) untuk kegiatan-kegiatan yang memberikan penghasilan lebih tinggi, seperti pinjaman kepada perusahaan-perusahaan Belanda, kliring, dan ekuitas swasta.
“Untuk meningkatkan profitabilitas, modal yang dialokasikan untuk CIB akan dikurangi. Utamanya akan dilakukan di sektor global, terlebih dalam perdagangan dan pembiayaan komoditas,” ungkap Chief Executive Kees van Dijkhuizen kala itu dalam sebuah pernyataan.
Sebelumnya, pada Desember 2017, pihak ABN mengungkapkan bakal mempertimbangkan masa depan divisi corporate banking-nya. Sebab, ada peraturan baru yang mengharuskan ABN menurunkan profitabilitas dengan cara mengharuskan bank memiliki lebih banyak modal untuk aset dengan risiko yang relatif tinggi. Divisi tersebut memiliki sekitar 2.600 karyawan pada akhir Juni 2018 dan menghasilkan 11% dari total laba ABN pada kuartal kedua 2018. Menurut pihak ABN, pemangkasan aktivitas perusahaan akan mengurangi aset tertimbang menurut risiko pada neraca ABN sebesar €5 miliar hingga €34 miliar pada 2020.
Pemangkasan karyawan juga terjadi pada bank asal AS Wells Fargo. Mereka mengumumkan adanya pemangkasan 5% hingga 10% tenaga kerjanya dan berdampak terhadap 26.500 karyawannya saat ini. Kala itu, Wells Fargo sedang berjuang untuk bangkit kembali dari serangkaian skandal. Perusahaan mengungkapkan adanya pemangkasan tenaga kerja demi membuat perusahaan lebih efisien saat banyak nasabah lebih memilih menggunakan platform digital. “Kami melanjutkan perubahan Wells Fargo untuk memberi apa yang nasabah inginkan, termasuk mengubah model bisnis kami guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dengan lebih lancar dan efisien,” ujar Timoty J. Sloan, CEO Wells Fargo, kala itu seperti dilansir Straits Times.
Selain itu, Timoty juga mengatakan pihaknya akan membantu para karyawan Wells yang terkena PHK, termasuk menugaskan mereka ke pos-pos lain di dalam Wells Fargo. Sebelumnya, pada Juli 2018, Wells Fargo yang juga pemain utama KPR di AS mengungkapkan pihaknya memutuskan untuk menutup 300 kantor cabang pada 2018. Sebelumnya, perusahaan sudah menutup 52 kantor cabang di empat negara bagian Midwestern.
Semua itu terjadi karena serangkaian skandal yang menimpa Wells Fargo, terutama saat perusahaan terungkap telah membuka jutaan rekening deposito palsu dan jalur kredit tanpa sepengetahuan nasabah pada 2016. Menurut pihak Wells Fargo, upaya tersebut dilakukan sebagai bagian dari taktik penjualan ritel. Sejak itu, bank telah mengganti direktur eksekutif, merombak sistem pembayaran insentif, dan menambah karyawan untuk mengawasi berjalannya kepemimpinan perusahaan.
Nasib yang sama pun dialami karyawan Standard Chartered cabang Uni Emirat Arab yang harus di-PHK pada akhir tahun lalu karena semakin banyak pelanggan yang beralih ke layanan digital. Selain itu, bank asal London, Inggris, tersebut juga telah mengurangi jumlah pegawai di sektor lainnya—termasuk divisi korporasi dan komersial—sebagai bagian dari perubahan global.
“Standard Chartered telah membuat kemajuan substansial dalam melaksanakan rencana transformasi yang tertata pada 2015. Kami menetapkan bagaimana kami akan mengembangkan grup dan memberikan hasil yang lebih tinggi pada hasil 2018 penuh kami pada Februari,” kata pihak bank dalam sebuah pernyataan, mengutip Reuters.
Digantikan Robot
Banyaknya pekerja bank yang di-PHK dan digantikan oleh robot sebenarnya sudah diprediksi oleh Mantan Chief Executive Officer Citigroup Inc. era 2007–2012 Vikram Pandit. Dalam wawancaranya dengan Bloomberg Television pada September 2017, dirinya menyatakan bahwa pengembangan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan akan menghilangkan 30% pekerjaan di bank dalam lima tahun mendatang.
“Semua bisa dilakukan dengan AI, robotica, dan natural language. Semua itu akan membuat proses semakin mudah. Hal-hal ini akan mengubah back office,” katanya dalam wawancara dengan Bloomberg Television, seperti dikutip Fortune belum lama ini.
Salah satu bank yang sudah mempekerjakan robot yaitu Royal Bank of Scotland (RBS) yang mempekerjakan Cora. “Manusia digital” ini berguna untuk membantu pelanggan yang bertanya mengenai masalah perbankan. Atas alasan itu, RBS pun memutuskan untuk melakukan PHK pada karyawan di seperempat cabangnya di dunia. Nantinya, Cora yang berbentuk avatar perempuan tersebut akan dipekerjakan sebagai digital teller.
Penampilan manusia digital tersebut layaknya perempuan masa kini dengan telinga menggunakan tindik dan gigi yang berkilau. Dengan senyumannya, Cora akan menjawab pertanyaan nasabah. Kevin Hanley, Direktur Inovasi NatWest, mengungkapkan manusia digital tersebut dapat menciptakan cara lain untuk melayani nasabah bank. “Bisa pula menjawab pertanyaan dengan cepat sehingga memotong waktu antrean,” katanya seperti dikutip Reuters.
Hanley menambahkan bahwa Cora yang menjalani tes lanjutan sebagai bagian percontohan di RBS bahkan bisa digunakan untuk melatih anggota staf. Keunggulan itu menjadi percobaan terbaru RBS sebagai industri yang mencoba menyesuaikan diri dengan perubahan perilaku pelanggan, perubahan teknologi yang cepat, dan ancaman yang ditimbulkan oleh pendatang baru. Inisiatif mereka pun dimulai dari chatbots biasa atau memasang tablet di cabang-cabang.
Selain itu, NatWest juga mengungkapkan bahwa purwarupa yang dibuat ini mampu melakukan percakapan verbal dua arah dengan pelanggan. Percakapan tersebut dilakukan melalui komputer, tablet, atau ponsel. Belajar dari berbagai kesalahan, robot tersebut mampu meningkatkan efisiensi dan memberikan saluran lain bagi pelanggan untuk mendapatkan dukungan. Cora juga dinilai dapat membebaskan rekan kerja manusia untuk menangani masalah yang lebih kompleks. Pengujian telah menyarankan pelanggan yang menghindari layanan digital nantinya lebih cenderung untuk berinteraksi dengan “manusia digital”.
Lalu, mengapa bank sampai harus menggunakan robot atau kecerdasan buatan? Berdasarkan laporan Accenture, bank yang mau berinvestasi di bidang kecerdasan buatan akan memiliki pendapatan yang meningkat sebesar 34% pada 2022. Bila Cora merupakan versi canggih dari kecerdasan buatan, versi sederhana dari kecerdasan buatan yaitu conversational user interface atau secara sederhana disebut “chatbot” yang bisa dibilang relatif murah.
Kehadiran chatbot dapat menghemat pengeluaran bank, menyusul naik daunnya platform pengiriman pesan singkat, penurunan biaya penyimpanan cloud, dan waktu implementasinya yang singkat. Berkat chatbot yang berguna sebagai agen digital untuk berinteraksi dengan pelanggan, bank dapat meningkatkan pengalaman pelanggan, mengurangi biaya layanan pelanggan manusia, merampingkan operasi, dan melayani lebih banyak orang dengan lebih cepat lewat berbagai saluran yang berbeda.
Penggunaan chatbot saat ini juga tengah digunakan oleh bank-bank besar di Indonesia. Mereka menggunakan chatbot atau layanan pesan yang dijawab oleh robot yang bertugas. Chatbot ini akan melayani nasabah yang ingin menanyakan sesuatu atau mengajukan komplain. Sebut saja seperti PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BRI) yang memiliki Sabrina (Smart BRI New Assistant). Sabrina digunakan melalui aplikasi Facebook Messenger dan aplikasi Telegram berbasis percakapan.
Tak jauh berbeda dengan Sabrina, PT Bank Central Asia Tbk. (BCA) memiliki Vira (Virtual Assistant Chat Banking BCA). Setelah dapat diakses melalui LINE, Facebook Messenger, dan Kaskus Chat, kini Vira juga hadir di Asisten Google. Vira dapat membantu nasabah BCA dalam mengetahui informasi dan promosi seputar BCA serta transaksi terkait.
Tak mau kalah dengan Vira dan Sabrina, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BNI) memiliki Cinta (Chat with you INTeligent Advisor) yang menggunakan teknologi chatbot dan kecerdasan buatan untuk membantu nasabah melakukan transaksi perbankan.
Terakhir, ada Mita (Mandiri Intelligence Assistant) yang dimiliki oleh PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Layanan tersebut merupakan chatbot yang berfungsi sebagai pusat layanan konsumen virtual yang dapat melayani nasabah selama 7x24 jam. Selain di dalam negeri, chatbot juga digunakan lembaga keuangan besar internasional, seperti Capital One dengan Eno, Bank of America dengan Erica, HSBC dengan Amy, Hang Seng dengan Haro dan Dori, serta OCBC dengan Emma.
Budi Yuni Harto