UPAYA hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno melalui gugatan sengketa pemilihan presiden 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK) kandas. Seluruh dalil gugatan yang diajukan ditolak sepenuhnya. Hasil final yang sekaligus memastikan jalan Jokowi-Ma’ruf menjadi Presiden-Wakil Presiden Indonesia periode 2019–2014.
“Menyatakan dalam eksepsi, menolak eksepsi termohon dan pihak terkait untuk seluruhnya. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ucap Anwar Usman, Ketua Majelis Hakim MK, membacakan kesimpulan sidang yang berakhir Kamis pekan lalu, sekitar pukul 21.15 WIB.
Tim kuasa hukum pasangan Jokowi-Ma’ruf dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyambut gembira putusan final tersebut. Saling berjabat tangan, berpelukan, dan merayakan dengan berfoto bersama.
Ketua tim kuasa hukum Jokowi-Ma’ruf, Yusril Ihza Mahendra menilai putusan itu sesuai prediksinya. Sejak awal, dari semua bukti pemohon, tak satu pun yang dapat membuktikan dalil gugatan yang diajukan. Dugaan penggelembungan suara, kecurangan terstruktur, sistematis, masif (TSM), pelanggaran jabatan dan dugaan lainnya disebut Yusril nihil bukti. “Semua alat bukti akhirnya dimentahkan majelis hakim,” kata dia di sela-sela sidang.
Kubu 02 pun bereaksi cepat usai sidang MK berakhir. Konferensi pers langsung digelar di kediaman Prabowo, di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan. Ada tiga poin utama dalam pidatonya tersebut. Menghormati keputusan MK, kecewa atas putusan, dan cari langkah hukum lainnya yang mungkin masih bisa ditempuh. “Kami mengerti bahwa keputusan tersebut sangat mengecewakan bagi kami dan para pendukung Prabowo-Sandi. Namun sesuai kesepakatan, kami akan tetap patuh dan mengikuti jalur konstitusi kita yakni UUD 1945 dan sistem perundangan yang berlaku di negara kita,” ujar Prabowo didampingi Sandi dan beberapa elite partai Koalisi Adil Makmur.
Tak sepatah kata ucapan selamat terlontar untuk pasangan Jokowi-Ma’ruf. Sebaliknya, Prabowo menyatakan akan berkonsultasi dengan tim hukumnya. Meminta saran mengenai ada atau tidaknya peluang langkah konstitusi yang masih bisa ditempuh. Sementara sang rival, Jokowi, memuji sikap kenegarawanan Prabowo-Sandi. Secara terbuka, Jokowi menegaskan adanya kesamaan visi misi Prabowo dengannya dalam membangun Indonesia menjadi lebih baik.
Jokowi juga berjanji menjadi pemimpin bagi seluruh rakyat Indonesia. Ia pun berharap putusan MK menjadi penanda titik balik bersatunya seluruh elemen bangsa dan mengajak hidup rukun dalam perbedaan. “Tak ada lagi 01 dan 02. Yang ada hanya persatuan Indonesia,” kata Jokowi sebelum dirinya bertolak menuju Osaka, Jepang, menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20.
Pernyataan Jokowi mengandung keinginan kuat untuk kembali mendekatkan hubungan dengan Prabowo yang disebut-sebut merenggang sejak 2014. Padahal, keduanya pernah sangat lengket pada Pilpres 2009 dan Pilgub DKI Jakarta 2012. Seruan untuk mengupayakan “rujuk” itu sudah mencuat sejak pasca-pemungutan suara pilpres lalu.
Isu rujuk dua seteru itu menguat beberapa hari jelang sidang akhir MK ketika muncul rumor bahwa telah terjadi pertemuan antara Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan (BG) dengan Prabowo di Bali, awal Juni lalu. Memang, pertemuan dibantah tegas kubu BPN. Prabowo ke Bali hanya untuk menghadiri acara adiknya, Hashim Djojohadikusumo. “Jadi, tidak ada (pertemuan dengan BG) itu. Waktu Pak Prabowo ke Bali (hanya berkunjung) ke Pak Hashim. Tidak ada utusan daripada Pak Jokowi, siapa pun,” tegas Andre Rosiade, Jubir BPN Prabowo-Sandi, menepis isu tersebut.
Begitu juga isu “kopi darat” antara Jokowi-Prabowo di Bangkok, Thailand baru-baru ini. Andre mengklaim pertemuan itu belum bisa dipastikan terjadi. Masih sebatas isu belaka. Menurutnya, keduanya belum bertemu apalagi membahas tentang rekonsiliasi.
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, Arsul Sani ikut menepis kabar tersebut. Ia membenarkan bahwa Jokowi berada di Bangkok, Thailand pada 22–23 Juni lalu. Kedatangannya ke Negeri Gajah Putih itu dalam rangka menghadiri KTT ASEAN.
Di saat bersamaan, Prabowo juga sempat berada di Bangkok, Thailand. Namun, Arsul mengatakan Prabowo tak sempat bertemu dengan Jokowi. “Info yang saya dapat itu Pak Prabowo memang di sana, tapi tidak bertemu. Karena jadwal Pak Jokowi kan juga padat di situ. Jadi, tidak bertemu,” tepis Sekjen PPP tersebut.
Kendati demikian, Arsul mengatakan tidak menutup kemungkinan adanya komunikasi antara orang dekat Prabowo dan orang dekat Jokowi yang mendampingi mereka saat di Bangkok. “Bisa saja begitu, tetapi kalau bertemu, tidak,” timpalnya lagi.
Rekonsiliasi pun menggantung. Berulang kali niat itu sudah coba dibangun. Usai momen pemungutan suara pada 17 April lalu, misalnya. Ketika itu, Jokowi menyatakan bakal mengirim utusannya untuk menemui Prabowo. Upaya itu ditempuh demi meredakan tensi panas yang antara dua kubu sejak masa kampanye.
Ada yang menilai penjajakan itu memang rekonsiliasi atau justru bentuk kompromi. Namun, langkah itu dibantah kubu Jokowi untuk menggandeng atau berbagi kekuasaan dengan Prabowo. Tujuan pertemuan itu dinilai murni untuk menghilangkan polarisasi yang terjadi hingga tingkat akar rumput.
Berebut Jatah
Sosok utusan yang dikirim Jokowi itu adalah Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman. Bahkan, sejumlah tokoh agama juga mengklaim bersedia menengahi perseteruan Jokowi-Prabowo pasca-pilpres. Dua di antaranya adalah Ketua Muhammadiyah Haedar Nashir dan Uskup Agung Jakarta Ignasius Suharyo.
Upaya pertemuan dengan Prabowo itu diakui Luhut. Lewat pembicaraan telepon, dirinya mengajak mantan Danjen Kopassus tersebut bertemu. Niat itu disambut baik Prabowo. Namun, konon pertemuan itu urung terjadi. Alasannya, hasil pemilu belum resmi keluar.
Usai KPU memutuskan hasil penghitungan suara nasional, 21 Mei lalu, tensi justru kembali memanas. Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi menuding hasil itu bagian dari kecurangan. Termasuk menuding terjadi kecurangan TSM yang dilakukan Jokowi sebagai petahana.
Awalnya, sempat tak mau menggugat ke MK. Namun, akhirnya kubu BPN resmi mendaftarkan gugatan tersebut. Berharap MK membatalkan hasil penghitungan suara, memutuskan terjadi kecurangan, hingga mendiskualifikasi Jokowi-Ma’ruf dan menetapkan Prabowo-Sandi sebagai presiden-wapres terpilih. Namun, hingga kini belum ada kepastian antara Jokowi-Prabowo sudah duduk satu meja.
Menanggapi itu, Arsul Sani menyebut upaya tersebut bukanlah keniscayaan. Sebab, ajang pilpres sudah selesai hingga keluarnya putusan MK. “Saya kira sepulang Pak Jokowi dari pertemuan G-20, ikhtiar ke arah sana (rekonsiliasi) akan lebih diintensifkan,” kata Arsul.
Tawaran kursi menteri diduga menjadi “pil penawar” agar rekonsiliasi berjalan mulus. Isu itu dibantah Arsul. Dirinya menyebut urusan itu menjadi kewenangan presiden nanti. “Bisa jadi ada peluang keduanya akan berkoalisi jika sudah bertemu. Tapi, soal jatah menteri, itu hak beliau,” tandasnya.
Jubir BPN Dahnil Anzar Simanjuntak pun senada. Ia membantah upaya rujuk itu sebagai kesempatan untuk melobi-lobi jabatan di pemerintahan. Kalaupun nantinya bertemu, hanya untuk membicarakan kepentingan publik. “Tidak pada frame untuk lobi-lobi, bagi-bagi jabatan dan sebagainya,” ujar Dahnil.
Putusan MK boleh jadi akhir pertarungan pilpres. Akan tetapi, sejatinya putusan tersebut menjadi gong penanda dimulainya pertarungan di medan baru: kabinet pemerintahan. Sehari setelah putusan MK, Koalisi Adil Dan Makmur resmi dibubarkan. Keputusan diambil melalui rapat internal yang digelar parpol pengusung di Kertanegara, Jakarta Selatan, Jumat lalu. Prabowo secara resmi menyatakan koalisi dan BPN Prabowo-Sandi sudah berakhir. “Tugas koalisi dianggap selesai. Karena itu, sejak hari ini beliau (Prabowo) menyampaikan ucapan terima kasih dan Koalisi Adil Makmur selesai,” kata Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani dalam keterangan persnya.
Dalam rapat itu, mandat dukungan sebagai pasangan capres-cawapres dikembalikan ke masing-masing parpol. Setelah dibubarkan, segala keputusan dan pertimbangan terkait langkah-langkah politik menjadi hak partai masing-masing. Prabowo tak akan mengintervensi apa pun yang menjadi keputusan partai ke depannya. “Beliau menghormati semua dan mempersilakan kepada masing-masing partai mengambil keputusan dan langkah politiknya,” imbuhnya.
Keputusan untuk membubarkan koalisi tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari panas dingin hubungan antar-parpol pendukung Prabowo-Sandi selama masa pilpres. Salah satu yang menjadi isu panasnya adalah iming-iming jatah menteri di kabinet Jokowi. Perang pernyataan di antara tokoh-tokoh parpol pendukung sendiri berlangsung terbuka.
Demokrat dan PAN adalah dua partai pendukung Prabowo yang sejak awal disebut-sebut bakal mendapatkan jatah di kabinet. Namun, belakangan justru Gerindra sebagai partai induk koalisi yang diisukan sudah merapat ke Jokowi.
Sebaliknya, meskipun tampak tenang di permukaan, Koalisi Indonesia Kerja pengusung Jokowi-Ma’ruf pun sudah saling mengincar jatah menteri. Ketika pemilu belum dimulai, PKB sudah tancap gas “mengincar” 10 menteri. Itu terkuak dalam pernyataan Ketum PKB Muhaimin Iskandar saat bertemu dengan jemaah Muslimat Nahdlatul Ulama (NU), akhir Januari lalu. “Saya mohon doanya semoga saya diberikan kekuatan melanjutkan dan membuktikan. Tahun 2019 harus ditopang dengan ekonomi yang makmur. Tahun 2019 itu harus betul-betul diwujudkan. Hari ini menteri dari kita ada empat. Mudah-mudahan nanti ada 10 menteri dari NU,” ujar Cak Imin.
Saat ini, ada empat menteri kabinet kerja pemerintahan Jokowi-JK yang berasal dari PKB. Mereka adalah Menaker Hanif Dhakiri, Menpora Imam Nahrawi, Mendes Eko Putro Sandjojo, dan Menristekdikti M. Nasir.
Partai Golkar tak mau ketinggalan. Ada lima jatah menteri yang diincar. Ketua Dewan Pakar Partai Golkar, Agung Laksono, menilai sodoran itu sangat wajar. Apalagi, si Pohon Beringin menjadi partai pemenang ketiga di pemilihan legislatif dan pemilik kursi kedua terbanyak di parlemen. “Saya kira wajar kami minta empat atau lima kursi, tak perlu sepuluh kursi seperti PKB,” singgung Agung.
Beberapa nama kandidat diusulkan bakal menjadi calon menteri. Dua di antaranya Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dan Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita. Tiga nama lainnya yang beredar dari dewan pakar, yaitu Ilham Habibie, Ganjar Razuni, dan Ponco Sutowo.
Merujuk porsi menteri, posisi dari kalangan profesional dan politikus cukup berimbang. Dari total 34 menteri, saat ini ada 14 orang dari kalangan parpol dan 20 lain nonpartai. Jika PKB dan Golkar meminta demikian, lantas bagaimana nasib partai lain di koalisi?
Sekretaris Jenderal Partai NasDem, Johnny G Plate, mengaku NasDem tak ingin balas jasa politik dengan minta jatah menteri. Menurutnya, belum ada pembicaraan tentang hal itu. “Masih bisa nanti, jangan dulu tergesa-gesa,” katanya.
Bila nantinya diminta Jokowi, partainya baru akan menyodorkan nama-nama yang dianggap layak sesuai visi misi pembangunan ke depan. Plate mengaku sudah menyiapkan kader mudanya jika diminta mengisi posisi menteri. “Tentunya yang energik, tapi juga dengan dukungan proses politik,” tambahnya.
Lain halnya PPP. Ada permintaan jatah menterinya di periode pemerintahan mendatang ditambah dari kabinet sebelumnya. “Saya berani mengatakan, kami ingin portofolionya bertambah (di kabinet),” pinta Sekjen PPP, Arsul Sani.
Minta jatah itu bukan tanpa alasan. Arsul menilai partainya sudah turut membantu upaya pemenangan Jokowi-Ma’ruf. Beda dengan sebelumnya pada 2014, PPP tak ikut lelah. “Sekarang kami ikut berkeringat dalam upaya pemenangan,” imbuhnya.
Arsul enggan menyebut nama instansi dan jumlah menteri yang diinginkan. Saat ini, partai berlambang Kabah itu mendapat jatah kursi Menteri Agama yang dijabat kader PPP Lukman Hakim Saifuddin.
Faorick Pakpahan