Langkah pencegahan yang dilantunkan para pimpinan KPK jilid IV sewaktu menjalani fit and proper test di DPR tempo hari memang sungguh tak populer. Para aktivis antikorupsi mencurigai langkah itu sebagai upaya melemahkan lembaga antirasuah dari dalam. Apalagi tindakan pencegahan memang sesuai dengan keinginan DPR yang bersikukuh merevisi UU KPK. Ini berbanding terbalik dengan kepemimpinan KPK terdahulu, sejumlah koruptor kakap berhasil dijaring melalui operasi tangkap tangan (OTT).
Nyatanya, rezim baru pimpinan KPK tak lemah seperti yang dikhawatirkan kalangan pegiat antikorupsi. Selain OTT yang masih galak, rupanya konsep pencegahan yang disampaikan mereka layak disambut. Ketika diwawancarai SINDO Weekly (No. 52/Tahun 4, 2016) Ketua KPK, Agus Rahardjo, mengaku gemas dengan tingginya harga pangan saat ini. Ia tidak habis pikir akan mahalnya harga beras, daging ayam, dan daging sapi. Padahal, untuk daging sapi, KPK rezim sebelumnya sudah membongkar permainan kuota daging sapi yang melibatkan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaq, dengan importir terkemuka daging sapi, Elizabeth Liman. Toh, hingga kini harga daging sapi tetap mahal. Agus menyesalkan kenapa saat itu KPK tidak membongkar habis sampai ke jaringannya. Dengan cara itu, ia yakin kongkalikong bisnis daging sapi bisa dicegah. Singkat kata, itulah yang ia maksud dengan pencegahan.
Kegeraman Agus layak dimengerti. Sejak awal 2015 hingga tiga bulan pertama 2016 harga pangan di Tanah Air seolah tak terkendali. Padahal, harga komoditas di dunia, termasuk pangan sedang merosot. Harga beras medium nasional naik 13,2%, daging sapi 6,1%, dan ayam pedaging 3,0%. Di tengah inflasi yang terbilang rendah (3,35%) angka kenaikan itu cukup mencengangkan.
Sudah begitu, kenaikan harga ternyata tak meningkatkan kesejahteraan petani. Harga gabah di tingkat petani pada hari-hari ini terjerembap rata-rata Rp3.400 per kg di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sungguh tak sebanding dengan kenaikan harga beras medium yang nyaris menyentuh Rp11.000.
Siapa bermain? Mafia yang bekerja seperti jaring laba-laba, galibnya kecurigaan Agus? Bisa jadi. Kamar Dagang Indonesia (Kadin) pernah melansir ada enam komoditas pangan yang digarap pelaku kartel, yakni daging sapi, ayam, gula, kedelai, jagung, dan beras. Khusus industri perunggasan, ditengarai omzetnya dalam setahun mencapai Rp450 triliun, mulai pakan, vaksin, hingga dagingnya.
Kadin berpendapat penyebab timbulnya kartel adalah ketidakseimbangan pasokan dan permintaan. Pemerintah dinilai masih sangat sentralistik karena kebijakan tata niaga diatur oleh beberapa kementerian. Padahal, pemerintah daerah yang lebih tahu akan kebutuhan di wilayahnya.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memang sedang melakukan investigasi keberadaan kartel di industri perunggasan. Namun, sebaiknya saran Agus Rahardjo—agar definisi tindak pidana korupsi diperluas—juga diakomodasi. Ia berpendapat hukum harus juga menjangkau sektor swasta, korporasi. Agaknya saran itu tak mengada-ada. Di industri perunggasan saja, KPPU memperkirakan ada 12 perusahaan yang bertindak sebagai kartel guna melakukan kesepakatan untuk mengatur distribusi dan permainan harga ayam di pasaran.
Jelas, kartel hanya menyengsarakan rakyat. Petani yang seharusnya lebih sejahtera taraf kehidupannya tak beranjak. Tiada cara lain, pemerintah harus melindungi produsen pangan (petani kecil) dengan memberi perlindungan harga di tingkat usaha tani.
Sementara, untuk perlindungan harga di tingkat konsumen, pemerintah wajib menstabilkan harga melalui peningkatan stok pangan dan membangun saling percaya antara pelaku usaha dan pemerintah.