KUALITAS udara yang baik merupakan dambaan setiap orang. Namun, bagaimana bila sebaliknya? Udara terkena polusi bahkan pencemarannya sudah mencapai tingkat yang paling parah? Kondisi ini semakin umum ditemui di kawasan perkotaan dan perindustrian. Pencemaran dan kualitas udara di dua kawasan ini sudah sangat mengkhawatirkan.
Seperti yang terjadi di beberapa wilayah Inggris. Laporan dari The Guardian menjelaskan bahwa angka penderita stroke dan jantung meningkat drastis akibat tingginya polusi udara di beberapa kota di Inggris. Setidaknya, para peneliti mengamati ada sembilan kota yang ada di wilayah Inggris yang terpapar polusi yang cukup parah.
Dari catatan yang ada, beberapa anak dan tingkat orang dewasa telah dilarikan ke rumah sakit karena paru-paru yang terganggu. Kepala National Health Service Inggris, Simon Stevens, mengatakan telah memberikan sebuah peringatan akan kondisi “kesehatan darurat”. Peringatan dini ini dicetuskan karena adanya peningkatan jumlah ratusan anak dan orang dewasa yang menderita asma, serangan jantung, hingga stroke yang parah karena terpapar polusi udara kotor setiap harinya.
Menurut Steven, dari angka terbaru menunjukkan bahwa polusi udara menyebabkan ribuan korban stroke, gagal jantung, dan asma. “Jadi, sangat jelas bahwa keadaan darurat iklim juga keadaan darurat kesehatan. Kita harus bertindak sekarang, bukan 2025 atau 2050,” kata Steven.
Sebuah penelitian dari King’s College London dan UK100 yang merupakan kelompok 94 pemimpin daerah juga memaparkan hal yang sama. Polusi udara yang tinggi saat ini menyebabkan penambahan jumlah masyarakat yang terkena penyakit akibat polusi. Hal ini terbukti dari data rumah sakit yang mencatat setidaknya ada sekitar 124 orang terkena serangan jantung, 231 kasus stroke, serta 193 anak dan orang dewasa dirawat di rumah sakit karena asma yang akut. Dari data tersebut KCL dan UK100 menilai bahwa polusi udara tinggi menjadi masalah besar dalam jangka pendek.
Dengan adanya kondisi darurat iklim ini, Steven mengungkapkan bahwa perlu adanya tindakan komprehensif lebih lanjut untuk mengatasi bahkan mengurangi secara cepat jejak karbon. “Setidaknya seperlima dari jumlah karbon yang ada saat ini, dan yang utama adalah mengurangi emisi gas rumah kaca,” ungkapnya.
“Jadi seperti penggunaan energi NHS kami, rantai pasokan, adaptasi gedung, dan transportasi kami semua harus berubah secara substansial,” tambahnya.
Hal serupa juga dikemukakan Direktur UK100, Polly Billington. Ia turut mendukung adanya penanganan darurat iklim yang terjadi saat ini. “Sudah sewajarnya jika pemerintah daerah membutuhkan kekuatan dan sumber daya tambahan untuk mengatasi krisis kesehatan masyarakat saat ini, di samping jadwal saat tingkat polusi udara akan memenuhi pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),” ujar Billington.
Lampu Kuning Indonesia
Dokter spesialis saraf dari Klinik Wijaya dr. Sukono Djojoatmodjo Sp.S. mengatakan ancaman polusi udara bukanlah hanya isu semata. Masyarakat Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia harus turut khawatir. Sebab, dampak polusi udara tidak boleh dianggap main-main. Racun polutan yang masuk dalam tubuh bisa bercampur dalam darah dan ini membuat lampu kuning bagi kesehatan seseorang.
Sukono menjelaskan, semakin tua usia seseorang, maka dengan otomatis dirinya akan lebih banyak terpapar polusi seumur hidupnya dibandingkan dengan mereka yang berusia lebih muda. “Sekian puluh tahun saya hidup. Artinya, saya sudah puluhan tahun mendapat polusi dari makanan atau udara. Menelan polusi segitu banyak,” ungkapnya.
Menurut Sukono dampak terpapar dari polusi itu sendiri membuat pembuluh darah menjadi kaku. “Hal inilah yang pada umumnya menyebabkan aliran darah ke otak atau organ lainnya menjadi tersumbat dan akhirnya memicu seseorang terkena stroke dan jantung,” jelasnya saat dihubungi
Multifaktor
Melihat penelitian seperti ini, dokter spesialis jantung dari Rumah Sakit Harapan Kita, dr. Dicky A. Hanafy, Sp.JP.(K)., FIHA menilai hal ini menjadi suatu persoalan besar bagi masyarakat perkotaan. “Sampai saat ini sebenarnya penelitian belum ada orang yang tahu, tetapi memang kecenderungan (dampak) ini lebih banyak,” katanya.
Rabu pekan lalu di Kawasan Slipi, Jakarta Barat, Dicky menjelaskan, serangan jantung dan stroke terjadi karena multifaktor. Salah satu yang menjadi penyebab utama adalah gaya hidup masyarakat perkotaan yang selama ini jarang diperhatikan. “Kurang berolahraga dan konsumsi makanan tidak sehat juga menjadi faktor pendukung di belakangnya,” ungkapnya.
Meski demikian, bagi dokter lulusan Universitas Indonesia ini penelitian tersebut masih belum valid. Ia sendiri memastikan gaya hidup bisa menjadi kecenderungan yang menjadi salah satu penyebabnya. “Jadi, mulai dari lifestyle atau gaya hidup lalu kena kolesterol atau darah tinggi, dan ini sudah terbukti membuat seseorang terkena serangan. Jadi, bukan hanya polusi saja yang memiliki dampak, tetapi ada juga faktor pendukung di belakang lainnya,” ungkapnya lagi.
Polusi udara bagi Dicky adalah persoalan baru yang memang akan menjadi permasalahan besar di masa depan. Apalagi, menurutnya, di kota besar dapat dijumpai polusi yang cukup tinggi sehingga sudah pastikan angka serangan jantungnya juga akan lebih tinggi.
Untuk menanganinya, menurut Sukono, polusi yang masuk ke tubuh seseorang tidak hanya berasal dari udara saja, bisa juga melalui air. “Polutan dari air juga punya sifat yang sama, yaitu membuat pembuluh darah menjadi kaku dan banyak faktor lainnya juga,” tuturnya.
Di sisi lain, banyak orang yang tidak menyadari bahwa dirinya sudah terpapar polusi. Hal ini terjadi karena secara tidak langsung. “Sehingga orang yang pola hidupnya tidak sehat seperti merokok atau memang memiliki pekerjaan yang rentan, kondisi tubuhnya akan lebih jelek dibanding mereka yang tidak merokok,” tuturnya.
Spesialis penyakit dalam, dr. Julfreser Sinurat mengungkapkan, untuk mengurangi risiko terkena polusi udara tentu banyak cara, mulai makan makanan yang sehat serta banyak mengonsumsi buah dan sayur dapat membantu melindungi orang dari dampak negatif polusi udara. Tanpa perlu berolahraga keras, melakukan aktivitas yang menggerakkan tubuh juga dinilai menjadi solusi. Berolahraga di dalam rumah juga cukup efektif. “Setidaknya menjaga kualitas hidup seperti gaya hidup buruk tentu harus dijauhi dan utama adalah jauh dari terpapar polusi secara langsung dan tidak, agar terhindar dari risiko,” tutupnya.
Yohanes Tobing